1
PENGERTIAN EKOLOGI
Ekologi berasal dari bahasa Yunani oikos (rumah atau tempat hidup) dan logos
(ilmu). Secara harafiah ekologi merupakan ilmu yang mempelajari organisme dalam tempat
hidupnya atau dengan kata lain mempelajari hubungan timbal-balik antara organisme dengan
lingkungannya. Ekologi hanya bersifat eksploratif dengan tidak melakukan percobaan, jadi
hanya mempelajari apa yang ada dan apa yang terjadi di alam.
Pada saat ini dengan berbagai keperluan dan kepentingan, ekologi berkembang
sebagai ilmu yang tidak hanya mempelajari apa yang ada dan apa yang terjadi di alam.
Ekologi berkembang menjadi ilmu yang mempelajari struktur dan fungsi ekosistem (alam),
sehingga dapat menganalisis dan memberi jawaban terhadap berbagai kejadian alam. Sebagai
contoh ekologi diharapkan dapat memberi jawaban terhadap terjadinya tsunami, banjir, tanah
longsor, DBD, pencemaran, efek rumah kaca, kerusakan hutan, dan lain-lain.
Struktur ekosistem menurut Odum (1983), terdiri dari beberapa indikator yang
menunjukan keadaan dari system ekologi pada waktu dan tempat tertentu. Beberapa penyusun
struktur ekosistem antara lain adalah densitas (kerapatan), biomas, materi, energi, dan faktorfaktor
fisik-kimia lain yang mencirikan keadaan system tersebut. Fungsi ekosistem
menggambarkan hubungan sebab akibat yang terjadi dalam system.
Berdasarkan struktur dan fungsi ekosistem, maka seseorang yang belajar ekologi
harus didukung oleh pengetahuan yang komprehensip berbagai ilmu pengetahuan yang
relevan dengan kehidupan seperti: taksonomi, morfologi, fisiologi, matematika, kimia, fisika,
agama dan lain-lain. Belajar ekologi tidak hanya mempelajari ekosistem tetapi juga otomatis
mempelajari organisme pada tingkatan organisasi yang lebih kecil seperti individu, populasi
dan komunitas.
Menurut Zoer´aini (2003), Seseorang yang belajar ekologi sebenarnya
mempertanyakan berbagai hal antara lain adalah:
1. Bagaimana alam bekerja
2. Bagaimana species beradaptasi dalam habitatnya
3. Apa yang diperlukan organisme dari habitatnya untuk melangsungkan kehidupan
4. Bagaimana organisme mencukupi kebutuhan materi dan energi
5. Bagaimana interaksi antar species dalam lingkungan
6. Bagaimana individu-individu dalam species diatur dan berfungsi sebagai populasi
PERTEMUAN I
2
7. Bagaimana keindahan ekosistem tercipta
Dari perpaduan harafiah dan berbagai kajian, maka ekologi dapat dikatakan sebagai
ilmu yang mempelajari seluruh pola hubungan timbalbalik antar mahluk hidup dan juga
antara mahluk hidup dengan lingkungannya. Manusia sebagai mahluk hidup juga menjadi
pembahasan dalam kajian ekologi. Ekologi menjadi jembatan antara ilmu alam dengan ilmu
social.
PEMBAGIAN EKOLOGI
Ekologi dapat dibagi menjadi autekologi dan sinekologi
1. Autekologi membahas sejarah hidup dan pola adaptasi individu-individu organisme
terhadap lingkungan
2. Sinekologi membahas golongan atau kumpulan organisme yang berasosiasi bersama
sebagai satu kesatuan
Bila studi dilakukan untuk mengetahui hubungan jenis serangga dengan
lingkungannya, kajian ini bersifat autekologi. Apabila studi dilakukan untuk mengetahui
karakteristik lingkungan dimana serangga itu hidup maka pendekatannya bersifat sinekologi.
APLIKASI EKOLOGI
Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang memiliki banyak keistimewaan
dibanding dengan makhluk lainnya. Manusia dibekali dengan kelebihan akal dan pikiran.
Mampukan dengan akal dan pikirannya, manusia melindungi, merawat dan mensejahterakan
alam sekitarnya? Jawaban paling simple dan mudah adalah mari kita lihat saja lingkungan
yang ada disekitar kita.
Manusia sebagai bagian dari alam semesta dan berbekal akal dan pikirannya saat ini
sebagian telah menjadi monster bagi dirinya sendiri, makhluk lain dan lingkungannya.
Kegiatan-kegiatan untuk mensejahterakan dirinya justru menjadi malapetaka. Penggunaan
pestisida untuk meningkatkan hasil panen meninggalkan residu yang karsinogenik dan
membunuh banyak mahluk hidup lain bukan sasaran, penebangan hutan, penggunaan unsur
radioaktif, penggunaan bahan-bahan kosmetik, pengharum, pembangunan industri,
pembangunan perumahan dan lain-lain justru menjadi bumerang bagi manusia itu sendiri.
Menguasai Saintek dan knowledge bagi manusia adalah merupakan kewajiban, tetapi
pengetahuan dan ilmu tersebut harus benar-benar diperuntukan bagi kesejahteraan alam
3
semesta beserta isinya. Terjadinya bencana alam akhir-akhir ini hanyalah bentuk peringatan
Tuhan bagi umat manusia agar manusia kembali ke jalan yang benar
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan tangan manusia, Allah
menunjukkan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan
yang benar
Q.S. Ar Ruum ayat 41
Aplikasi ilmu ekologi dengan prinsip-prisip dasarnya apabila dipergunakan secara
benar dan bertanggungjawab sebenarnya dapat memperbaiki segala kerusakan yang telah
terjadi dan mencegah terulangnya peristiwa-peristiwa yang sangat tidak diinginkan. Ekologi
menganut prinsip keseimbangan dan keharmonisan semua komponen alam. Terjadinya
bencana alam seperti tsunami di Aceh, Sumatra Utara, Pangandaran dan terakhir terjadinya
banjir pasang di sebagian Jakarta, fenomena angin puting beliung di beberapa tempat di
Indonesia dan lain-lain adalah merupakan salah satu contoh keseimbangan dan harmonisasi
alam terganggu. Ketika ketimpangan sudah mencapai pada puncaknya maka alam akan
mengatur kembali dirinya dalam keseimbangan baru. Proses menuju keseimbangan baru
tersebut sering kali menimbulkan perubahan yang drastis dan dianggap bencana bagi
komponen alam yang lain (manusia). Terjadinya ledakan populasi belalang di Lampung,
ledakan populasi hama wereng, kutu loncat, tikus, DBD, Flu burung dan lain-lain adalah
merupakan salah satu bentuk terjadinya ketidak seimbangan dalam ekosistem dan komponenkomponen
alam yang terlibat dalam system sedang mengatur strateginya masing-masing
untuk menuju kearah keseimbangan baru.
Ekologi memandang mahluk hidup sesuai dengan perannya masing-masing dan
memandang individu dalam species menjadi salah satu unsur terkecil di alam. Semua mahluk
hidup di alam memiliki peran yang berbeda dalam menyusun keharmonisan irama
keseimbangan sebagaimana firman Tuhan dalam Q.S Al Hijr ayat 19 -21:
4
Kami telah hamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan
segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami telah jadikan untukmu di bumi keperluankeperluan
hidup, dan Kami ciptakan pula makhluk-makhluk yang kamu sekali-sekali bukan
pemberi rizki kepadanya. Dan tidak ada sesuatupun melainkan kepada sisi Kami-lah
khasanahnya dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu
Q.S Al Hijr ayat 19 -21
Aplikasi ekologi yang nyata saat ini adalah dalam Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL) dari semua kegiatan pembangunan dan desain lansekap. Lansekap
adalah wajah dan karakter lahan atau tapak bagian dari muka bumi ini dengan segala
kegiatan kehidupan dan apa saja yang ada di dalamnya, baik bersifat alami, non alami atau
kedua-duanya yang merupakan bagian atau total lingkungan hidup manusia beserta
makhluk-makhluk lainnya, sejauh mata memandang, sejauh segenap indera kita dapat
menangkap dan sejauh imajinasi kita dapat membayangkannya ( Zain Rachman, 1981 dalam
Zoer´aini, 2003).
PUSTAKA
Al Quran dan Terjemahnya. 1989. CV. Toha Putra Semarang
Odum, EP. 1983. Basic Ecology. Saunders, Philadelphia
Zoer´aini D.I. 2003. Prinsip-prinsip Ekologi dan Organisasi. PT Bumi Aksara, Jakarta
5
INDIVIDU
Individu berasal dari bahasa latin
yaitu in (tidak) dan dividuus
(dapat dibagi) jadi individu
merupakan bagian organisasi kehidupan yang tidak dapat dibagi lagi. Masing-masing unit
yang disebut individu tersebut dapat melakukan proses hidup yang masing-masing terpisah.
Setiap individu seperti pohon pisang dalam rumpunnya akan dapat hidup apabila dipisahkan
dari rumpunnya tersebut. Lalu bagaimana dengan porifera ?. Individu dalam ekologi
memiliki makna yang sangat penting, karena dari individu dapat dikumpulkan bermacammacam
data untuk mempelajari tentang kehidupan dalam hubungannya dengan
lingkungannya.
POPULASI
Dalam ekologi, populasi diartikan sekelompok idividu sejenis yang menempati ruang
dan waktu tertentu. Misalnya populasi pohon cengkeh tahun 2005 di Kulon Progo
Yogyakarta, Populasi Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga tahun 1999, atau populasi pohon Salak
Pondoh tahun 2005 di Kabupaten Sleman Yogyakarta dan seterusnya. Jadi, populasi adalah
kelompok kolektif organisme dari jenis yang sama yang menempati ruang atau tempat
tertentu dan memiliki berbagai ciri atau sifat yang unik dari kelompok dan bukan merupakan
sifat milik individu di dalam kelompok tersebut. Populsi memiliki sejarah hidup, tumbuh dan
berkembang seperti apa yang dimiliki oleh individu. Populasi memiliki organisasi dan
struktur yang pasti dan jelas.
Penentuan atau penggolongan species dalam populasi dapat dilakukan dengan dua
cara:
1. Secara taksonomi, yaitu species ditentukan berdasarkan hubungan kekeluargaan baik
secara evolusi, maupun sejarah nenek moyangnya
2. Berdasarkan peran atau fungsi, yaitu penentuan species didasarkan pada kesamaan
perannya di dalam lingkungan
6
Berdasarkan sifatnya yang unik dan berbeda dengan sifat masing-masing individu,
populasi memiliki ciri-ciri antara lain sebagai berikut:
1. Densitas atau kerapatan atau kepadatan
2. Angka kelahiran (natalitas)
3. Angka kematian (mortalitas)
4. Genetik
5. Struktur Umur
6. Potensi biotik
7. Bentuk pertumbuhan
Densitas atau Kerapatan atau Kepadatan
Densitas populasi menunjukan besarnya populasi dalam satuan ruang. Umumnya
dinyatakan sebagai jumlah individu atau biomas persatuan luas atau volume. 100 ekor ikan
Lele Dumbo per meter persegi atau 25 Copepoda per liter air laut dan lain-lain.
Densitas dalam studi atau kajian ekologi memiliki fungsi yang sangat besar, karena
pengaruh populasi terhadap komunitas dan ekosistem tidak hanya jenis organismenya saja
tetapi juga jumlahnya atau densitasnya. Sebagai contoh misalnya seekor belalang dalam satu
hektar tanaman padi akan memiliki pengaruh yang sangat kecil terhadap hasil panen,
sehingga keberadaannya tidak menjadi perhatian petani pemilik sawah. Kondisinya akan
berbeda jika dalam satu hektar tanaman padi terdapat 10.000 belalang. Densitas juga dapat
digunakan untuk mengetahui perubahan populasi pada suatu saat tertentu (berkurang atau
bertambah). Misalnya jumlah burung Kuntul yang melintas di atas Kampus UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta per hari selama bulan Maret 2005.
Densitas populasi dalam ekosistem dapat diukur dan ditentukan melalui dua cara
yaitu:
1. Densitas kotor (Crud density): Jumlah individu suatu populasi per satuan areal
seluruhnya
2. Densitas efektif atau dikenal sebagai kerapatan ekologi yaitu jumlah individu suatu
populasi per satuan ruang habitat
Densitas populasi apabila fluktuasinya kita perhatikan maka akan dapat kita gunakan
untuk menentukan faktor-faktor yang mengontrol ukuran dari populasi. Faktor-faktor itu
dikenal dengan istilah faktor kepadatan bebas (density independent) dan faktor kepadatan
tidak bebas ( density dependent). Density independent merupakan faktor perubahan
lingkungan yang berpengaruh terhadap anggauta populasi secara merata. Sebagai contoh,
7
tsunami yang menimpa sebagian Aceh dan Sumatra Utara akan mematikan semua anggauta
populasi tertentu. Secara umum ketersediaan makanan merupakan density dependen,
demikian juga kompetisi, penyakit dan peristiwa migrasi. Density dependen merupakan
pendorong terjadinya fluktuasi kepadatan populasi.
Angka Kelahiran (natalitas)
Natalitas adalah kemampuan inheren populasi untuk bertambah. Di alam angka
kelahiran dapat bervariasi sesuai dengan keadaan lingkungan. Angka kelahiran umumnya
dinyatakan dalam bentuk angka atau laju yang dihitung berdasarkan jumlah individu baru per
satuan waktu per satuan populasi.
Keterangan:
N
Δ N1
Δ t
B
b
=
=
=
=
=
Seluruh individu dalam populasi atau hanya individu yang bereproduksi
Jumlah individu baru dalam populasi karena kelahiran
Satuan waktu
Angka kelahiran untuk berbagai kelompok umur yang berbeda
Angka kelahiran per satuan poipulasi
Angka Kematian (mortalitas)
Menyatakan jumlah individu-individu dalam populasi yang mati per satuan waktu.
Dalam kondisi yang ideal maka angka kematian berada pada titik minimum. Mortalitas pasti
terjadi pada makhluk hidup meskipun kondisi lingkungan sangat ideal, kematian terjadi
karena umur tua.
Δ N1
B = —―Δ t
Δ N1
b = —―
N Δ t
8
Genetik
Sifat-sifat genetik secara langsung berhubungan dengan keberadaan suatu populasi di
dalam lingkungan. Termasuk didalamnya antara lain adalah keserasian reproduksi, distribusi,
adaptasi dan ketahanan hidup. Faktor genetik dalam mempelajari ekologi memiliki peran
penting karena adanya variasi (biodiversitas) genetik akan sangat menentukan eksistensi suatu
populasi dalam lingkungan.
Struktur Umur
Secara ekologis populasi umumnya memiliki tiga bentuk sebaran umur yaitu muda
(prareproduktif), reproduktif dan umur tua (postreproduktif). Lamanya periode umur ekologis
jika dibandingkan dengan panjangnya umur sangat beragam tergantung pada jenis organisme
dan kondisi lingkungan yang melingkupinya. Beberapa jenis tumbuhan dan hewan memiliki
umur prareproduktif yang lebih panjang dan beberapa tidak memiliki umur postproduktif.
Populasi organisme yang sama tetapi hidup dalam kondisi lingkungan yang berbeda juga
dapat memiliki periode umur ekologis yang berbeda. Populasi hewan liar biasanya memiliki
umur reproduktif lebih lama dibandingkan dengan yang dipelihara, contohnya beberapa jenis
burung. Biasanya populasi yang sedang berkembang cepat akan didominasi oleh individuindividu
muda, populasi yang stationer memiliki umur yang lebih merata dan populasi yang
menurun akan didominasi oleh sebagian besar individu-individu yang berumur tua.
Sebaran umur dalam populasi akan sangat mempengaruhi natalitas dan mortalitas
yang pada akhirnya berpengaruh terhadap densitas populasi. Data struktur umur dari populasi
biasanya disajikan dalam bentuk piramida umur. Secara teoritis ada tiga bentuk dasar
piramida yaitu:
1. Piramida dengan bentuk dasar luas dengan ciri populasi umur muda besar
2. Bentuk segitiga sama sisi atau lonceng dengan jumlah kelompok muda seimbang
dengan kelompok tua
3. Bentuk kendi, memiliki jumlah individu muda lebih kecil dari kelompok dewasa
(1) (2) (3)
9
Bentuk dasar piramida umur akan berubah secara temporer karena pengaruh factor mortalitas
dan natalitas sampai terbentuk struktur umur yang stabil.
Potensi Biotik
Potensi biotik dapat diartikan sebagai kemampuan bawaan yang dimiliki organisme
untuk tumbuh atau bereproduksi (reproductive potential). Potensi biotic menggambarkan
kemampuan suatu populasi menambah jumlah anggautanya apabila rasio umur sudah mantap
dan lingkungan dalam kondisi optimal. Pada kondisi lingkungan tidak atau kurang optimum
maka tingkat pertumbuhan populasi menurun. Perbedaan antara potensi biotik dengan
kemampuan suatu poipulasi menambah anggautanya dalam keadaan yang dapat diamati
dikenal sebagai daya tahan lingkungan.
Bentuk pertumbuhan Populasi
Pertambahan ukuran populasi memiliki pola tertentu yang dikenal sebagai bentuk
pertumbuhan populasi (population growth form). Secara teoritik pertumbuhan populasi
terjadi secara eksponensial.
N
t
Dari bentuk kurva, populasi tumbuh tidak pernah terhenti dan makin lama makin cepat.
Pertumbuhan eksponensial dapat terjadi hanya apabila faktor lingkungan tak terbatas, jadi
tidak ada faktor apapun yang membatasi pertumbuhan.
Di alam lingkungan selalu terbatas (faktor biotik dan abiotik membatasi
pertumbuhan). Adanya faktor pembatas menyebabkan pertumbuhan di alam memiliki polapola
tertentu. Pertumbuhan eksponensial di alam dapat terjadi untuk sementara waktu,
kemudian beberapa faktor biotik dan abiotik seperti sumber makanan, pasangan, persaingan,
iklim dan faktor-faktor lain membatasinya. Sebagai contoh terjadinya ledakan populasi tikus
(tumbuh eksponensial) maka pada titik tertentu populasi akan kembali menurun karena
ketersediaan sumber makanan, kompetisi, predator maupun kondisi iklim.
10
Distribusi Populasi
Distribusi populasi adalah pergerakan individu-individu atau alat perkembang
biakannya (biji, spora, larva dan lainnya) ke dalam atau ke luar dari suatu populasi atau
daerah populasi. Ada tiga bentuk distribusi atau pergerakan populasi yaitu:
1. Migrasi, yaitu pergerakan keluar batas-batas tempat populasi dan datang kembali ke
tempat populasi semula secara periodik
2. Emigrasi, yaitu pergerakan keluar batas-batas tempat populasi sehingga populasi
berkurang
3. Imigrasi, yaitu pergerakan ke dalam batas-batas tempt populasi sehingga populasi
bertambah
Penyebaran atau pergerakan sangat dipengaruhi oleh faktor penghalang (barier) dan
kemampuan individu atau alat perkembangbiakannya untuk berpindah (vagilitas). Secara
genetik pergerakan individu-individu dari suatu populasi sangat menguntungkan karena akan
memberikan kemungkinan tetap terjaganya variasi genetik dan dapat menghindari
kemungkinan terjadinya kepunahan.
Penyebaran populasi yang berupa penyebaran individu memiliki tiga pola dasar yaitu:
1. Acak (random), kondisi distribusi pola ini relatif jarang terjadi di alam
2. Merata (uniform), terjadi apabila kompetisi antara individu-individu sangat tajam
dalam memperebutkan ruang hidup yang sama.
3. Berkelompok (clumped), pola distribusi ini dapat berkelompok secara acak (random
clumped), berkelompok secara merata dimana penyebaran kelompok dalam suatu
daerah membagi ruang hidup yang sama dan berkelompok secara besar
Penyebaran juga dipengaruhi oleh luas daerah dan jumlah populasi. Pada daerah yang luas
dengan jumlah individu sedikit maka sebarannya akan relative jarang.
11
Secara genetik, individu-individu adalah anggauta dari populasi setempat dan secara
ekologi individu merupakan anggauta dari ekosistem. Ekosistem sebagian besar terdiri dari
kumpulan tumbuhan dan hewan yang bersama-sama membentuk masyarakat yang disebut
komunitas. Suatu komunitas terdiri dari banyak jenis dengan berbagai macam fluktuasi
populasi dan interaksi satu dengan lainnya. Ringkasnya komunitas adalah seluruh populasi
yang hidup bersama pada suatu daerah dan organisme yang hidup bersama ini sering disebut
juga sebagai komunitas biotik.
Mempelajari komunitas akan lebih baik apabila kita sudah lebih dulu mengenal
karakter masing-masing komponen penyusunnya. Misalnya apakah tumbuhan termasuk
herba, epifit, merambat atau apakah hewan hidup terrestrial atau aquatik, masing-masing
memiliki karakter yang spesifik. Hewan aquatik misalnya, kita harus mengenal lebih dulu
morfologinya, fisiologi dan system reproduksinya, bagaimana kedudukannya dalam rantai
makanan, bersifat planktonik, bentik atau perenang aktif, hidup dan mencari makan di daerah
permukaan, ditengah atau didasar perairan dan lain sebagainya.
Komunitas sebagai suatu organisasi kehidupan tersusun dari beberapa komponen yang
masing-masing komponen memiliki dinamikanya masing-masing dan dikenal sebagai
struktur komunitas. Sebelum mempelajari hubungan komunitas dengan lingkungannya salah
satu kajian untuk mempelajari komunitas adalah mengamati struktur komunitas. Beberapa hal
yang perlu diketahui dalam mempelajari struktur komunitas antara lain adalah:
1. Jenis organisme penyusunnya, misalnya untuk mempelajari komunitas rumput di Hutan
Wisata Kaliurang, maka pertama kali yang harus dilakukan adalah jenis-jenis rumput apa
saja yang tumbuh di sana
2. Densitas (kepadatan), misalnya berapa jumlah rumput jenis ″A″ per meter persegi
3. Keanekaragaman jenis.
12
Nilai keanekaragaman jenis diukur dengan menghitung nilai indeks keanekaragaman.
Ada dua cara untuk menentukan angka indeks ini yaitu menggunakan indeks keanekaragaman
Simpson (D) atau dengan indeks keanekaragaman Shanon- Wiener (H′). Rumus indeksindeks
tersebut adalah sebagai berikut:
D
H′
=
=
1 – C
-Σ Pi ln Pi
Keterangan:
C
Pi
=
=
Indeks dominansi = Σ(ni/N)2
Perbandingan jumlah individu suatu jenis dengan seluruh jenis (ni/N)
Indeks Shanon-Wiener merupakan metode yang paling umum dipakai. Indeks ini
merupakan indeks terbaik untuk membuat perbandingan dimana kita tidak bermaksud untuk
memisahkan komponen-komponen keanekaragaman (Pielow dalam Deshmuksh, 1992:463).
Komponen tersebut adalah kekayaan jenis dan kesamarataan atau equilibilitas.
Keanekaragaman jenis merupakan karakteristik yang unik dalam tingkat organisasi
biologi yang diekspresikan melalui struktur komunitas. Suatu komunitas dikatakan
mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi apabila terdapat banyak jenis dengan jumlah
individu masing-masing relative merata. Keanekaragaman dimaksud adalah keanekaragaman
jenis bukan untuk mencari kedudukan jenis dalam takson, melainkan ditekankan pada dasar
trofik, atau tingkatan fungsional organisme. Nilai indeks keanekaragaman yang besar
mengisyaratkan terdapatnya daya dukung lingkungan yang besar terhadap kehidupan.
Suatu lingkungan yang memiliki keanekaragaman jenis yang besar umumnya akan
terdiri dari populasi-populasi yang masing-masing dengan jumlah individu yang relative
kecil. Sebaliknya, lingkungan yang memiliki keanekaragaman jenis kecil umumnya dalam
lingkungan tersebut akan dihuni oleh jenis yang terbatas dengan jumlah individu melimpah.
Kategori angka indeks keanekaragaman jenis kedalam kelompok keanekaragaman besar,
kecil atau sedang dapat dilakukan dengan mengacu pada standar berikut:
Nilai (H') Kategori keanekaragaman
0 < H' < 2,0302
2,0302 < H' < 6,907
H' > 6,907
Kecil
Sedang
Besar
13
Pemberian Nama Komunitas
Nama komunitas harus dapat memberikan keterangan mengenai sifat-sifat komunitas
dimaksud. Cara paling sederhana adalah dengan menggunakan kata-kata yang dapat
menunjukkan bagaimana wujud komunitas, seperti komunitas hutan jati, padang rumput,
plankton, terumbu karang padang lamun, mangrove, dll.
Species dominan atau organisme yang memberi wujud khas pada suatu komunitas
dimana terdapat satu atau beberapa organisme dengan jumlah yang banyak pada komunitas,
dapat dipergunakan untuk memberi nama komunitas tersebut. Nama komunitas harus berarti
dan sependek mungkin. Menurut Zoer'aini (2003), cara paling baik untuk menamakan
komunitas adalah dengan mengambil beberapa sifat yang jelas dan mantap, baik hidup
maupun tidak. Secara ringkas pemberian nama komunitas dapat didasarkan pada:
1. Bentuk-bentuk hidup atau struktur utama penyusunnya, seperti hutan pinus, hutan jati,
hutan bakau
2. Berdasarkan habitat dari komunitas, seperti komunitas pantai berbatu, berpasir,
berlumpur, komunitas laut dalam, komunitas air payau dll
3. Berdasarkan sifat-sifat atau tanda-tanda fungsional, seperti komunitas plankton,
komunitas bentik, komunitas hutan hujan tropis dll
Perubahan dalam komunitas yang terjadi sebagai akibat dari modifikasi lingkungan,
berlangsung lambat, teratur dan terarah menuju kestabilan disebut dengan suksesi. Proses
suksesi akan terus berlangsung sampai tercapai titik klimaks, yaitu kondisi dimana komunitas
mencapai titik keseimbangan. Menurut konsep terkini seksesi merupakan pergantian jenisjenis
pioneer oleh jenis-jenis yang lebih mantap yang sesuai dengan lingkungannya.
1. Suksesi Primer
Suksesi terjadi karena ekosistem mengalami gangguan yang sangat berat sehingga
komunitas yang ada hilang atau rusak total. Misalnya peristiwa tsunami, letusan gunung
berapi, aktivitas pertambangan, dan lain-lain
2. Suksesi sekunder
Terjadi pada ekosistem yang mengalami kerusakan tetapi tidak total, masih ada
yang tersisa. Misalnya kerusakan akibat banjir, kebakaran, tanah longsor, pembukaan
lahan perkebunan dan lain sebagainya.
SUKSESI
14
Lingkungan adalah suatu sistem kompleks
yang berada di luar individu yang
mempengaruhi organisme. Lingkungan
dapat dikelompokan menjadi dua
yaitu lingkungan abiotik dan lingkungan
biotik. Lingkungan berbeda dengan habitat.
Habitat merupakan tempat dimana organisme hidup. Secara garis besar habitat organisme
dapat dibagi menjadi dua yaitu habitat terrestrial dan aquatik, keadaan lingkungan dari habitat
tersebut berbeda.
Lingkungan, habitat dan makhluk hidup akan membentuk sebuah system yang disebut
dengan ekosistem. Komponen-komponen lingkungan selain berinteraksi dengan organisme,
juga berinteraksi antar sesama komponen tersebut, sehingga sulit untuk memisahkan dan
mengubahnya tanpa mempengaruhi bagian lain dari lingkungan.
15
EKOSISTEM LAUT
Laut merupakan bagian dari ekosistem perairan yang memiliki ciri-ciri antara lain:
bersifat continental, luas dan dalam, asin, memiliki arus dan gelombang, pasang-surut, dan
dihuni oleh organisme baik plankton, neuston maupun bentos. Ekosistem laut yang luas dan
dalam menyebabkan terdinya varasi fisiko-kimiawi lingkungan yang akan menjadi faktor
pembatas bagi kehidupan organisme.
A. Faktor Fisiko-Kimiawi
1. Pasang-surut
Pasang-surut adalah naik dan turunnya permukaan air laut secara periodik
selama interval waktu tertentu. Pasang-surut erjadi karena adanya interaksi antara gaya
gravitasi matahari dan bulan terhadap bumi serta gaya sentrifugal yang ditimbulkan oleh
rotasi bumi dan system bulan. Akibat gaya gaya ini air di dasar samudra akan tertarik ke
atas. Gaya gravitasi satu benda terhadap benda lain adalah merupakan fungsi dari massa
setiap benda dan jarak antara keduanya. Kondisi ini menyebabkan gaya gravitasi bulan
terhadap bumi lebih besar jika dibandingkan dengan gaya gravitasi matahari terhadap
bumi.
Bumi dan bulan membentuk sistem orbit yang berputar mengelilingi pusat
masanya dan karena bumi relatif lebih besar dari bulan, maka titik pusatnya berada dalam
bumi. Perputaran sistem bumi-bulan membentuk gaya sentrifugal (ke arah luar) dan
diimbangi oleh gaya gravitasi ke duanya. Pada bagian bumi yang menghadap bulan, gaya
gravitasinya lebih kuat dari pada gaya sentrifugalnya sehingga mengakibatkan air laut
yang menghadap bulan tertarik ke atas (pasang naik). Pada bagian bumi yang berlawanan,
16
gaya gravitasi bulan minimum dan gaya sentrifugal yang lebih besar akan menarik air
menjauhi bumi (pasang naik), jadi terdapat dua pasang naik. Kejadian ini akan mengikuti
posisi bulan terhadap bumi yang berputar pada porosnya.
Pada lautan yang terjadi dua kali pasang naik dan dua kali air surut seperti
contoh di atas disebut pasang tipe semidiurnal. Pasang-surut yang terdiri dari satu pasang
naik dan satu pasang turun (surut) disebut pasang-surut diurnal, sedangkan apabila pada
satu lautan kadang terjadi pasang-surut diurnal dan kadang pasang-surut semidiurnal
disebut pasang-surut campuran.
Ketinggian pasang air laut bervariasi dari hari-ke hari mengikuti posisi relatif
antara matahari dan bulan terhadap bumi. Pada saat bulan dan matahari terletak sejajar
terhadap bumi maka gaya keduanya akan bergabung sehingga menyebabkan terjadinya
pasang dengan kisaran terbesar baik naik maupun turun (pasang purnama). Pada saat
matahari dan bulan membentuk sudut siku-siku terhadap bumi, maka gaya tarik bulan dan
matahari terhadap bumi saling melemahkan sehingga terjadi kisaran pasang yang
minimum (pasang perbani). Seperti diketahui bahwa bumi tidak tegak lurus dalam
orbitnya mengelilingi matahari tetapi membentuk sudut kemiringan 23½º dari garis
vertikal. Akibatnya, selama bumi berputar pada porosnya, bagian-bagian di permukaan
bumi mengalami ketinggian pasang-surut yang berbeda. Ketinggian pasang-surut juga
mengalami perbedaan yang disebabkan karena adanya perubahan relatif letak bulan
terhadap bumi dalam orbitnya mengelilingi bumi. Orbit bulan tidak bulat melainkan
berbentuk elips, maka pada waktu-waktu tertentu, bulan lebih dekat ke bumi (perigee) dan
waktu lainnya bulan lebih jauh dari bumi (apogee)
Perbedaan tipe pasang dan perbedaan ketinggianya pada berbagai bagian laut
antara lain disebabkan oleh letak lintang dan juga adanya keunikan berbagai pasu samudra
dimana pasang-surut itu terjadi, arah angin dan lain-lain
23½º
Matahari
Bulan
Bumi
GS Grav
17
Sumbu rotasi (a)
Pasang perbani
Pasang purnama Pasang purnama MATAHARI
Pasang perbani
(b)
Ket: (a) Bulan menimbulkan sebuah tonjolan di bagian bumi yang terdekat sehingga gaya
gravitasi lebih besar dari pada gaya sentrifugal yang dinetralkan. Di sisi yang berlawanan,
gaya sentrifugal lebih kuat dan menetralkan gaya gravitasi. (b) Posisi bulan dan matahari pada
pasang perbani dan pasang purnama (sumber: Nybakken, 1993. hal 221)
Karakteristik pasang-surut di perairan laut Indonesia
Lokasi Tipe pasang-surut
Sabang
Lang Lancang
Teluk Aru
Kuala Tanjung
Belawan Deli
Sungai Asahan
Padang
Bagan Siapi-api
Dumai
Bengkalis
Sungai Siak
Sungai Pakning
Diurnal (tunggal)
Semidiurnal (ganda)
Campuran
Semidiurnal
Campuran
Semidiurnal
Campuran
Semidiurnal
Campuran
Campuran
Campuran
Campuran
BUMI
18
Blandong
Pasir Panjang
Sungai Indragiri
Sungai Jambi
Batu Ampar
Selat Kijang
Sungai Musi
Panjang
Bakaheuni
Suralaya
Tanjungpriok
Tanjung Pandan
Cirebon
Cilacap
Pamangkat
Sungai Kapuas Kecil
Semarang
Sungai Kota Waringin
Surabaya
Teluk Sampit
Sungai Barito
Lembar
Balikpapan
Tarakan
Samarinda
Teluk Sangkulirang
Bontang
Ujung Pandang
Bima
Donggala
Pelabuhan Kendari
Kupang
Menado
Bitung
Campuran
Campuran
Campuran
Campuran
Campuran
Campuran
Diurnal
Campuran
Campuran
Campuran
Diurnal
Diurnal
Campuran
Semidiurnal
Campuran
Campuran
Campuran
Campuran
Campuran
Campuran
Campuran
Campuran
Semidiurnal
Campuran
Campuran
Campuran
Campuran
Campuran
Campuran
Campuran
Campuran
Campuran
Campuran
Campuran
19
Ternate
Ambon
Sorong
Fak fak
Tual
Manokwari
Sungai Digul
Selat Muli
Jayapura
Marauke
Audina
Sarm
Benoa
Campuran
Campuran
Campuran
Campuran
Campuran
Campuran
Campuran
Campuran
Campuran
Campuran
Campuran
Campuran
Campuran
2. Arus
Arus laut terjadi karena pengaruh tiupan angin yang ada di atasnya, jadi arah
arus laut mengikuti pola dan arah angin. Massa air yang ada di bawahnya akan ikut
terbawa, dan semakin dalam maka kekuatannya semakin melemah. Bumi yang berputar
pada porosnya juga akan menimbulkan kekuatan untuk menggerakkan air mengikuti arah
putaran bumi (gaya coriolis). Pada belahan bumi bagian utara gaya coriolis akan
membelokkan arah arus air ke sebelah kanan apabila laut dilihat dari arah daratan dan
arah yang sebaliknya terjadi pada belahan bumi bagian selatan. Pembelokan arus air oleh
gaya coriolis ini semakin ke dalam juga semakin melemah akan menimbulkan apa yang
dikenal sebagai spiral ekman.
Arus air laut juga dapat terjadi karena adanya perbedaan suhu air baik secara
vertikal maupun horizontal, tinggi permukaan laut, dan pasang-surut. Adanya perbedaan
suhu masa air dan terjadinya pembuyaran arus permukaan (divergensi) menyebabkan
terjadinya upwelling dan sebaliknya, convergensi atau pemusatan arus permukaan
menyebabkan terjadinya downwelling (tenggelamnya masa air permukaan).
3. Gelombang
Gelombang air laut terjadi karena adanya alih energi dari angin ke permukaan
laut, atau pada saat-saat tertentu disebabkan oleh gempa di dasar laut. Gelombang
merambat ke segala arah membawa energinya yang kemudian dilepaskan ke pantai dalam
20
bentuk hempasan ombak. Rambatan geombang dapat mencapai rubuan kilometer sampai
mencapai pantai. Gelombang yang mencapai pantai akan mengalami pembiasan
(refraction) dan akan memusat (convergence) jika menkati semenanjung, atau enyebar
(divergence) jika menemui cekungan. Gelombang yang menuju perairan dangkal akan
mengalami spilling, plunging, collapsing atau surging. Semua fenomena yang terjadi pada
gelombang pada dasarnya disebabkan oleh topografi dasar laut
Kondisi fisik lautan yang terdiri dari gelombang, arus, aktivitas pasang-surut dan
fenomena-fenomena yang menyertainya memiliki arti dan peran yang sangat penting baik
secara langsung maupun tidak langsung bagi makhluk hidup di alam ini.
4. Salinitas
Air laut adalah air murni yang di dalamnya terlarut berbagai zat padat 99,99% dan
sisanya berupa gas. Zat terlarut meliputi garam-garam anorganik, senyawa-senyawa
organik yang berasal dari organisme hidup, dan gas-gas terlarut. Komposisi terbesar
berasal dari garam-gam anorganik yang berbentuk ion-ion. Enam ion anorganik yang
terdiri dari klor, natrium, magnesium, sulfur, kalsium dan kalium membentuk 99,28%
berat dari bahan anorganik padat. Lima ion lainnya yaitu bikarbonat, bromide, asam borat,
stronsium dan flour sebesar 0,71, sehingga secara bersama-sama 11 ion anorganik
membentuk 99,99% berat zat terlarut. Satu contoh, apabila dalam air seberat 1000 gram
terlarut 35 gram senyawa yang secara kolektif disebut garam, maka 96,5% air tersebut
berupa air murni dan 3,5% berupa garam. Satuan kadar garam dalam air ada umumnya
dinyatakan sebagai seperseribu atau promil (‰), sehingga kadar garam (salinitas) pada
contoh air diatas adalah 35 ‰.
Pertanyaan yang terkesan klise adalah dari mana asal mulanya air laut itu asin.
Menurut teori, rasa asin air laut awal mulanya berasal dari garam-garam dari dasar kulit
bumi di dasar laut melalui proses outgassing, yakni rembesan dari kulit bumi di dasar laut
yang berbentuk gas ke permukaan dasar laut. Bersama-sama gas ini terlarut hasil kikisan
kulit bumi yang berupa ion-ion garam dan juga air, sehingga kadar garam air laut tidak
berubah secara ekstrem sepanjang masa.
Tabel. Komposisi unsur penyusun gadar garam air laut
Ion % berat
Makro
- Klor (Cl‾) 55,04
21
- Natrium (Na+)
- Sulfat SO4²‾)
- Magnesium (Mg²+)
- Kalsium (Ca²+)
- Kalium (K+)
Subtotal
Mikro
- Bikarbonat (HCO3‾)
- - Bromida (Br‾)
- Asam Borat (HBO3)
- Stronsium (Sr²+)
- Flor (F)
Subtotal
30,61
7,68
3,69
1,16
1,10
99,28
0,41
0,19
007
0,04
0,00…
0,71
TOTAL 99,99
(Nybakken, 1993; Romimohtarto dan Sri Juwana, 2001)
Penting untuk diketahui bahwa perbandingan ion-ion utama dalam air laut boleh
dikatakan tetap sehingga pengukuran kadar salinitas dapat dilakukan hanya dengan cara
mengukur satu ion saja misalnya konsentarasi klor (salinometer), atau daya konduktivitas
(daya hantar) listrik (DHL), atau indeks refraktif (refraktometer).
Sebanyak 0,01% dari zat terlarut dalam air laut, terdapat beberapa garam
anorganik (nitrat,fosfat, dan silicon dioksida) yang memiliki arti sangat penting bagi
kehidupan organisme. Nitrat dan fosfat sangat dibutuhkan oleh tumbuh-tumbuhan untuk
sintesis zat organik alam fotosintesis sedangkan SiO2 diperlukan oleh diatom dan
radiolaria untuk membentuk cangkang. Berbeda dengan unsur-unsur sebelumnya,
perbandingan fosfat, nitrat dan SiO2 dengan unsur atau ion-ion yang lain tidak konstan
dan cenderung kurang tersedia dia air permukaan. Jumlahnya bervariasi sebagai akibat
kegiatan biologik. Persediaan unsure-unsur esensial ini dalam beberapa hal menjadi
pembatas bagi produktivitas primer. Zat-zat lain seperti kobalt, mangan, besi dan tembaga
meskipun terdapat dalam jumlah yang sangat terbatas tetapi dalam ekosistem perairan laut
tidak menjadi faktor pembatas bagi kehidupan organisme. Senyawa organik tertentu,
seperti vitamin juga ditemukan dalam jumlah yang sangat terbatas, tetapi sangat minim
diketahui variasinya.
22
Kadar salinitas dalam perairan memiliki arti yang sangat penting bagi sifat-sifat air
dan memiliki implikasi yang besar terhadap kehidupan. Menurut Nybakken (1993),
kerapatan air murni terjadi pada suhu 4ºC, selanjutnya kerapatan air terus meningkat
sampai titik beku. Air yang mengandung garam titik bekunya akan lebih rendah dari air
murni yang merupakan cerminan dari fungsi kadar garam. Air laut yang bersalinitas 35‰
memiliki titik beku – 1,9ºC. terjadinya pembekuan, kerapatan menurun sehingga es
terapung. Arti penting kenaikan kerapatan di bawah 4ºC adalah air permukaan yang
dingin dan berat dan mengandung oksigen terlarut yang tinggi dapat terbentuk dan
tenggelam ke dasar laut. Perlu diketahui bahwa kelarutan gas-gas dalam air adalah suatu
fungsi dari suhu, penurunan suhu akan diikuti oleh kenaikan daya larut gas-gas seperti O2
dan CO2 dalam air sehingga semakin dingin suhu air, makin banyak oksigen yang
dikandungnya. Pada suhu 0ºC air laut dengan salinitas 35 ‰ belum beku, mengandung 8
ppm oksigen, sedangkan pada suhu 20ºC dengan salinitas yang sama air laut hanya
mengandung 5,4 ppm oksigen. Air yang kaya oksigen ini akan tenggelam ke dasar laut.
Kondisi seperti itulah yang menyebabkan ekosistem laut dalam yang gelap gulita
sepanjang waktu tidak pernah anoksik dan selalu tersedia oksigen untuk kebutuhan
organisme laut dalam yang terbatas jumlahnya.
B. Biota Laut
Secara umum biota laut dikelompokkan kedalam tiga kategori yaitu: plankton,
nekton dan bentos. Pengelompokkan ini didasarkan pada kebiasaan hidup secara umum
seperti pergerakan, pola hidup, dan sebaran secara ekologis.
1. Plankton
Plankton adalah biota yang hidup melayang dalam air, tidak dapat bergerak atau
dapat bergerak sedikit dan pergerakannya sangat dipengaruhi oleh arus (terhanyut).
Plankton merupakan biota yang memiliki keanekaragaman dan kepadatan sangat besar
dalam ekosistem laut. Plankton terdiri dari fitoplankton (plankton nabati) dan zooplankton
(plankton hewani). Dalam perairan laut fitoplankton merupakan produsen primer
(produsen utama dan pertama) sehingga keberadaan fitoplankton dalam perairan mutlak
adanya. Pendapat ini dikuatkan oleh Sachlan (1982), Meadows and Campbell (1993), dan
Sumich (1999) bahwa fitoplankton merupakan organisme berklorofil yang pertama ada di
dunia dan merupakan sumber makanan bagi zooplankton sebagai konsumen primer,
maupun organisme aquatik lainnya, sehingga populasi zooplankton maupun populasi
konsumer dengan tingkat tropik yang lebih tinggi secara umum mengikuti dinamika
populasi fitoplankton. Fitoplankton adalah tumbu-tumbuhan air yang mempunyai ukuran
23
sangat kecil dan hidup melayang dalam air. Fitoplankton mempunyai peranan sangat
penting dalam ekosistem perairan, sama pentingnya dengan peran tumbuh-tumbuhan hijau
yang lebih tinggi tingkatannya di ekosistem daratan. Fitoplankton adalah produsen utama
(Primary producer) zat-zat organik dalam ekosistem perairan. Seperti tumbuh-tumbuhan
hijau yang lain, fitoplankton membuat ikatan-ikatan organik kompleks dari bahan organik
sederhana melalui proses fotosintesa (Hutabarat dan Evans, 1986)
Menurut Sachlan (1982), fitoplankton dikelompokan ke dalam 5 divisi yaitu:
Cyanophyta, Crysophyta Pyrrophyta, Chlorophyta dan Euglenophyta (hanya hidup di
air tawar). Kecuali Euglenophyta semua kelompok fitoplankton ini dapat hidup di air
tawar dan air laut. Menurut Nontji (1993), fitoplankton yang dapat tertangkap dengan
planktonet standar (no. 25) adalah fitoplankton yang memiliki ukuran ≥ 20 μm.
Fitoplankton yang bisa tertangkap dengan jaring umumnya tergolong dalam tiga
kelompok utama yakni diatom, dinoflagellata dan alga biru (Cyanophyceae).
Zooplankton adalah plankton hewani. Zooplankton meskipun terbatas,
mempunyai kemampuan bergerak dengan cara berenang (migrasi vertikal). Pada siang
hari zooplankton bermigrasi ke bawah menuju dasar perairan. Migrasi dapat juga terjadi
karena faktor konsumenan (grazing) yaitu mendekati fitoplankton sebagai mangsa. Dapat
juga migrasi terjadi karena pengaruh gerakan angin sehingga menyebabkan upwelling
atau downwelling (Sumich, 1999)
Zooplankton terdiri dari holoplankton (zooplankton sejati) dan meroplankton
(zooplankton sementara). Holoplankton adalah hewan yang selamanya hidup sebagai
plankton seperti Protozoa dan Entomostraca. Meroplankton yaitu hewan yang hidup
sebagai plankton hanya pada stadia-stadia tertentu, seperti larva atau juvenil dari
Crustacea, Coelenterata, Molusca Annelida dan Echinodermata (Sachlan, 1982).
Protozoa sebagai plankton sejati dibagi menjadi 4 klasis yaitu Rhizopoda, Ciliata,
Flagelata dan Sporozoa (hidup sebagai parasit). Rhizopoda merupakan zooplankton yang
mempunyai arti penting tidak hanya di laut tetapi juga di air tawar. Zooplankton ini
merupakan makanan bagi ikan dan hewan Avertebrata. Rhizopoda terdiri dari beberapa
ordo yaitu Amoebina, Foraminifera, Radiolaria dan Heliozoa.
Salah satu species zooplankton yang mempunyai peranan sangat penting dalam ekosistem
perairan adalah Crustacea. Crustacea terdiri dari dua golongan besar yaitu Entomostraca
(udang-udangan tingkat rendah) dan Malacostrca (udang-udangan tingkat tinggi). Semua
stadia larva dari Malacostraca seperti Nauplius, zoea, mysis dan juvenil merupakan
24
meroplankton, sedangkan Entomostraca merupakan zooplankton sejati baik di perairan tawar
maupun di laut. Termasuk dalam kelompok ini adalah Cladocera, Ostracode, Copepoda dan
Cirripedia. Copepoda merupakan zooplankton yang mendominasi ekosistem perairan, dengan
populasi dapat mencapai 70 – 90%. Copepoda juga bersifat selektif konsumen (Meadows
and Campbell (1993). Zooplankton mempunyai arti yang sangat penting dalam ekosistem
perairan karena merupakan makanan utama dan sangat digemari oleh ikan dan organisme
perairan dengan tingkat tropik lebih
Thalassiosira punctigera Nitzchia sigma Chatoceros coarcatus
Odontella sinensis Ceratium furca Asterionella formosa
Macrocyclops fuscus Corycaeus ovalis Microsetella norvegica
Pre-Zoea Portunus pelagicus N. Balanus tintinnabulum Macrosetella gracilis
Foto: Plankton laut (sumber, Satino, 2003)
25
3. Bentos
Mencakup semua biota yang hidup menempel, merayap, atau membuat liang di
dasar perairan mulai dari daerah litoral sampai dengan dasar laut dalam (hadal). Contoh
bentos yang hidup merayap misalnya kepiting, lobster dan udang karang lainya, Chiton,
bintang laut, bintang mengular dan lain-lain. Bentos yang hidup dengan cara membuat
liang misalnya berbagai jenis cacing dan kerang-kerangan, sedangkan yang hidup
menempel misalnya tiram, teritip, spong, anemone dan lain-lain. Bentos dalam ekosistem
laut memiliki peran yang sangat penting. Sebagian dari bentos bersifat filter feeder dan
sebagian mengambil nutrisi dengan memakan bangkai organisme yang jatuh ke dalam
dasar lautan. Berdasarkan cara makan dan jenis makanannya, bentos dalam ekosistem
laut dapat berperan sebagai pembersih perairan dan dasar laut.
4. Nekton
Biota laut yang termasuk dalam kelompok ini antara lain: ikan, cumi-cumi,
penyu, ular, vertebrata laut, sotong dan lain-lain. Dibandingkan dengan plankton dan
bentos, nekton memiliki keanekaragaman jenis yang lebih sedikit.
Pustaka
Nybakken, J.W., 1992. (Terjemahan: H.M. Eidman et al) Biologi Laut Suatu Pendekatan
Ekologis. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Romimohtarto, K dan Sri Juwana. 2001. Biologi Laut. Penerbit Djambatan, Jakarta
Rokhmin, D., dkk. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara
Terpadu. Edisi Revisi. PT. Pradnya Paramita, Jakarta
26
EKOSISTEM INTERTIDAL
Zona intertidal memiliki luas yang sangat terbatas, meliputi wilayah yang terbuka
pada saat surut tertinggi dan terendam air pada saat pasang tertinggi atau separuh waktu
berupa ekosistem terrestrial dan separuhnya berupa ekosistem akuatik. Walaupun wilayahnya
sempit, daerah intertidal memiliki variasi faktor linkungan terbesar dibanding dengan
ekosistem lainnya, dan variasi ini dapat terjadi pada daerah yang hanya berbeda jarak
beberapa sentimeter saja.
KONDISI LINGKUNGAN
1. Pasang-Surut
Naik dan turunnya permukaan air laut secara periodik selama interval waktu tertentu.
Pasang-surut merupakan faktor lingkungan paling penting yang mempengaruhi kehidupan di
zona intertidal. Tanpa adanya pasang-surut yang periodik maka faktor-faktor lingkungan lain
akan kehilangan pengaruhnya. Hal ini disebabkan adanya kisaran yang luas pada banyak
faktor fisik akibat hubungan langsung yang bergantian antara keadaan terkena udara terbuka
dan keadaan terendam air.
Pengaruh pasang-surut terhadap organisme dan komunitas zona intertidal paling jelas
adalah kondisi yang menyebabkan daerah intertidal terkena udara terbuka secara periodik
dengan kisaran parameter fisik yang cukup lebar. Organisme intertidal perlu kemampuan
adaptasi agar dapat menempati daerah ini. Faktor-faktor fisik pada keadaan ekstrem dimana
organisme masih dapat menempati perairan, akan menjadi pembatas atau dapat mematikan
jika air sebagai isolasi dihilangkan.
Kombinasi antara pasang-surut dan waktu dapat menimbulkan dua akibat langsung
yang nyata pada kehadiran dan organisasi komunitas intertidal. Pertama, perbedaan waktu
relatif antara lamanya suatu daerah tertentu di intertidal berada diudara terbuka dengan
lamanya terendam air. Lamanya terkena udara terbuka merupakan hal yang sangat penting
karena pada saat itulah organisme laut akan berada pada kisaran suhu terbesar dan
27
kemungkinan mengalami kekeringan. Semakin lama terkena udara, semakin besar
kemungkinan mengalami suhu letal atau kehilangan air diluar batas kemampuan. Kebanyakan
hewan ini harus menunggu sampai air menggenang kembali untuk dapat mencari makan.
Semakin lama terkena udara, semakin kecil kesempatan untuk mencari makan dan
mengakibatkan kekurangan energi. Flora dan fauna intertidal bervariasi kemampuannya
dalam menyesuaikan diri terhadap keadaan terkena udara, dn perbedaan ini yang
menyebabkan terjadinya perbedaan distribusi organisme intertidal.
Pengaruh kedua adalah akibat lamanya zona intertidal berada diudara terbuka.
Pasang-surut yang terjadi pada siang hari atau malam hari memiliki pengaruh yang berbeda
terhadap organisme. Surut pada malam hari menyebabkan daerah intertidal berada dalam
kondisi udara terbuka dengan kisaran suhu relatif lebih rendah jika dibanding dengan daerah
yang mengalami surut pada saat siang hari
Pengaruh pasang-surut yang lain adalah karena biasanya terjadi secara periodik maka
pasang-surut cenderung membentuk irama tertentu dalam kegiatan organisme pantai,
misalnya irama memijah, mencari makan atau aktivitas organisme lainnya.
2. Suhu
Suhu di daerah intertidal biasanya mempunyai kisaran yang luas selama periode yang
berbeda baik secara harian maupun musiman dan dapat melebihi kisaran toleransi organisme.
Jika pasang-surut terjadi pada kisaran suhu udara maksimum (siang hari yang panas) maka
batas letal dapat terlampaui. Meskipun kematian tidak segera terjadi namun organisme akan
semakin lemah karena suhu yang ekstrem sehingga tidak dapat menjalankan aktivitas seperti
biasa dan akan mati karena sebab-sebab sekunder. Suhu juga dapat berpengaruh secara tidak
langsung yaitu kematian karena organisme kehabisan air.
3. Ombak
Gerakan ombak di daerah intertidal memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap
organisme dan komunitas dibanding dengan daerah lautan lainnya. Pengaruh ombak dapat
terjadi secara langsung maupun tidak.
a. pengaruh langsung
- Secara mekanik ombak dapat menghancurkan dan menghanyutkan benda yang
terkena. Pada pantai berpasir dan berlumpur kegiatan ombak dapat membongkar
substrat sehingga mempengaruhi bentuk zona. Terpaan ombak dapat menjadi
pembatas bagi organisme yang tidak dapat menahan terpaan tersebut.
28
- Ombak dapat membentuk batas zona intertidal lebih luas, akibatnya organisme laut
dapat hidup di daerah air yang lebih tinggi di daerah yang terkena terpaan ombak dari
pada di daerah tenang pada kisaran pasang-surut yang sama
b. Pengaruh tidak langsung
Kegiatan ombak dapat mengaduk gas-gas atmosfer ke dalam air, sehingga meningkatkan
kandungan oksigen. Karena interaksi dengan atmosfer terjadi secara teratur dan terjadi
pembentukan gelembung serta pengadukan substrat, maka penetrasi cahaya di daerah
yang diterpa ombak dapat berkurang.
4. Salinitas
Perubahan salinitas di daerah intertidal dapat melalui dua cara:
a. Zona intertidal terbuka pada saat surut, dan kalau hal ini terjadi pada saat hujan lebat
maka salinitas akan turun. Apabila penurunan ini melewati batas toleransi bagi
organisme (sebagian besar organisme intertidal stenohalin dan osmokonformer) maka
organisme dapat mati.
b. Pada daerah intertidal pantai berbatu yang memiliki banyak cekungan, daerah ini
dapat digenangi air tawar yang masuk ketika hujan deras sehingga menurunkan
salinitas, atau memperlihatkan kenaikan salinitas jika terjadi penguapan sangat tinggi
pada siang hari.
5. Substrat Dasar
Substrat dasar zona intertidal memiliki variasi yang berbeda dan dapat berupa pasir,
lumpur maupun berbatu. Substrat dasar ini menyebabkan perbedaan struktur komunitas flora
dan fauna yang berbeda.
ADAPTASI ORGANISME INTERTIDAL
1. Daya tahan terhadap kehilangan air
Organisme yang hidup di daerah intertidal harus memiliki kemampuan untuk
menyesuaikan diri terhadap kehilangan air yang cukup besar selama berada di udara terbuka.
Mekanisme sederhana ditunjukkan oleh hewan-hewan yang bergerak, seperti kepiting,
anemon, Citon, dll. Hewan ini akan dengan mudah berpindah dari daerah terbuka di intertidal
kedalam lubang, celah atau galian yang basah atau bersembunyi dibawah algae sehingga
kehilangan air dapat dihindari. Secara aktif organisme ini mencari mikrohabitat yang ideal.
Organisme yang tidak memiliki kemampuan untuk aktif berpindah tempat seperti genera
algae maupun beberapa genera bivalvia mereka beradaptasi untuk mengatasi kehilangan air
29
yang besar hanya dengan struktur jaringan tubuhnya. Genera Porphyra, Fucus dan
Enteromorpha misalnya sering dijumpai dalam keadaan kisut dan kering setelah lama berada
di udara terbuka, tetapi jika air laut pasang kembali mereka akan cepat menyerap air dan
kembali menjalankan proses hidup seperti biasa.
Mekanisme lain organisme intertidal untuk beradaptasi terhadap kehilangan air adalah
melalui adaptasi struktural, tingkah laku maupun keduanya. Beberapa species dari teritip,
gastropoda (Littorina) dan bivalvia (Mytilus edulis) memiliki kemampuan untuk menghindari
kehilangan air dengan cara merapatkan cangkangnya atau memiliki operkula yang dapat
nmenutup rapat celah cangkang.
2. Keseimbangan Panas
Organisme intertidal memiliki keterbukaan terhadap perubahan suhu yang ekstrem
dan memperlihatkan adaptasi tingkah laku dan struktural tubuh untuk menjaga keseimbangan
panas internal. Di daerah tropis organisme cenderung hidup pada kisaran suhu letal atas
sehingga mekanisme keseimbangan panas hampir seluruhnya berkenaan dengan suhu yang
terlalu tinggi. Beberapa bentuk adaptasi al:
a. Memperbesar ukuran tubuh relatif bila dibandingkan dengan species yang sama. Dengan
memperbesar ukuran tubuh berarti perbandingan antara luas permukaan dengan volume
tubuh menjadi lebih kecil sehingga luas daerah tubuh yang mengalami peningkatan suhu
menjadi lebih kecil. Pada keadaan yang sama tubuh yang lebih besar memerlukan waktu
lebih lama untuk bertambah panas dibanding dengan tubuh yang lebih kecil
b. Memperbanyak ukiran pada cangkang
Ukiran-ukiran pada cangkang berfungsi sebagai sirip radiator sehingga memudahkan
hilangnya panas. Contoh Littorina dan Tectarius
c. Hilangnya panas dapat juga diperbesar melalui pembentukan warna tertentu pada
cangkang. Genera Nerita, dan Littorina memiliki warna lebih terang dibandingkan dengan
kerabatnya yang hidup di daerah lebih bawah (warna gelap akan menyerap panas).
d. Memliki persediaan air tambahan yang disimpan didalam rongga mantel seperti pada
teritip dan limfet yang banyaknya melebihi kebutuhan hidup hewan ini. Persediaan air ini
dipergunakan untuk strategi mendinginkan tubuh melalui penguapan sekaligus
menghindarkan kekeringan.
3. Tekanan Mekanik
Setiap organisme intertidal perlu beradaptasi untuk mempertahankan diri dari
pengaruh ombak. Gerakan ombak mempunyai pengaruh yang berbeda pada pantai berbatu,
30
berpasir dan berlumpur sehingga memiliki konsekuensi bentuk adaptasi yang berbeda pada
organismenya. Beberapa bentuk adaptasi al:
a. Melekat kuat pada substrat, seperti pada Polichaeta, Teritip, Tiram
b. Menyatukan dirinya pada dasar perairan melalui sebuah alat pelekan (Algae)
c. Memiliki kaki yang kuat dan kokoh seperti pada Citon dan limfet
d. Melekat dengan kuat tetapi tidak permanen seperti pada Mytillus melalui bisus yang dapat
putus dan dibentuk kembali
e. Mempertebal ukuran cangkang, lebih tebal dibandingkan kerabatnya yang hidup di daerah
subtidal
4. Tekanan Salinitas
Zona intertidal mendapat limpahan air tawar, yang dapat menimbulkan masalah
tekanan osmotik bagi organisme yang hanya dapat hidup pada air laut. Kebanyakan
organisme intertidal bersifat osmokonformer, tidak seperti organisme estuaria. Adaptasi satusatunya
adalah sama dengan yang dilakukan untuk melindungi tubuh dari kekeringan yaitu
dengan menutup cangkangnya.
5. Reproduksi
Kebanyakan organisme intertidal hidup menetap atau melekat, sehingga dalam
penyebarannya mereka menghasilkan telur atau larva yang bersifat planktonik. Reproduksi
dapat juga terjadi secara periodik mengikuti iramna pasang-surut tertentu, seperti misalnya
pada pasang-purnama. Contoh Mytillus edulis, gonad menjadi dewasa selama pasang
purnama dan pemijahan berlangsung ketika pasang perbani.
31
Ekosistem mangrove merupakan ekosistem hutan yang khas terdapat di sepanjang
pantai atau muara sungai yang masih dipengaruhi oleh aksi pasang air laut. Disebut juga
sebagai hutan pantai, hutan pasang-surut, mangal, dan ada juga yang menyebutnya dengan
hutan bakau. Perlu dipertegas bahwa istilah bakau biasanya hanya digunakan untuk jenis
tumbuhan tertentu dari marga Rhizophora, sedangkan istilah mangrove atau mangal
dipergunakan untuk segala tumbuhan yang hidup pada lingkungan ini.
Hutan mangrove ditemukan tumbuh subur pada pantai-pantai yang terlindung, datar
atau ditempat-tempat yang mempunyai muara sungai yang besar dengan substrat dasar
berlumpur. Mangrove tidak tumbuh pada pantai yang terjal dan berombak besar dengan
pengaruh pasang air laut yang kuat, arena hal ini tidak memungkinkan pengendapan Lumpur
dan pasir yang diperlukan untuk pertumbuhannya.
Ekosistem mangrove merupakan ˝ekoton˝ yaitu ekosistem peralihan antara daratan
dan lautan, sehingga berbagai interaksi faktor lingkungan memunculkan kondisi yang khas
dan tidak menentu. Kondisi ini menyebabkan struktur komunitas dengan dinamika yang
sangat menarik dan cenderung rumit. Sebagai ekosistem peralihan, mangrove memiliki
manfaat yang sangat besar bagi keseimbangan ekosistem daratan dan juga ekosistem lautan,
baik sebagai sumberdaya hutan maupun sebagai pendukung sumber daya perikanan lepas
pantai.
Menurut data dari Nonji (1993), luas mangrove di seluruh Indonesia diperkirakan
sekitar 4,25 juta hektar atau 3,98% dari seluruh luas hutan Indonesia. Hutan mangrove yang
luas antara lain terdapat di pesisir timur Sumatra, pesisir Kalimantan dan pesisir selatan
Papua. Di wilayah lain hutan mangrove sudah sulit ditemukan. Di beberapa tempat di pulau
Jawa seperti di Cilacap, Banyuwangi, Pulau Menjangan, Situbondo dan beberapa tempat lain
masih ditemukan hutan mangrove meskipun dengan luas yang terbatas. Berdasarkan
pengamatan penulis, kerusakan paling parah ekosistem hutan mangrove pada sepuluh tahun
32
terakhir terjadi di pantai timur Sumatra, akibat pemanfaatan daerah tersebut untuk tambak
udang dan juga diambil kayunya untuk bahan bangunan.
A. Flora Mangrove
1. Keanekaragaman jenis
Mangrove di Indonesia dikenal memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi,
seluruhnya tercatat sebanyak 202 jenis tumbuhan. 89 jenis diantaranya berupa pohan
dan selebihnya berupa palma (5 jenis), epifit (44 jenis), herba tanah (44 jenis), liana (19
jenis) dan satu parasit (Yus Ruslina N. dkk, 1999). Dari 202 jenis tersebut terbagi dalam
dua kelompok, yaitu mangrove sejati dan mangrove ikutan. Beberapa marga mangrove
sejati antara lain: Bakau (Rhizophora), Api-api (Avicennia), Pedada (Sonneratia),
Tancang (Bruguiera), Tingi (Ceriops), Nyirih (Xylocarpus), Teruntun (Aegiceras),
Dungun (Heritiera), Nipah (Nypa fructicans), dll. Termasuk dalam kelompok tumbuhan
mangrove ikutan antara lain: Pandan (Pandanus sp), Waru laut (Thespesia sp), Jarongan
(Stachytarpheta sp), Seruni laut (Sesuvium sp), Tapak kuda (Ipomea pes-caprae (L.)
Sweet), dll.
Ekosistem mangrove di Cilacap Rhizophora sp
Bruguiera sp Aegiceras sp
33
Acanthus ebracteatus Ceriops sp
Komposisi flora pada ekosistem mangrove memiliki variasi yang berhubungan
erat dengan jenis substrat dan genangan air laut serta didominasi oleh tumbuhan halofit.
Di daerah pantai terbuka, flora yang dominan dan merupakan pohon perintis umumnya
adalah Avicennia dan Sonneratia. Avicennia cenderung hidup pada substrat berpasir
agak keras, sedangkan Sonneratia pada substrat berlumpur halus. Pada daerah yang
terlindung dari hempasan ombak yang keras flora mangrove di dominasi oleh
Rhizophora, dan semakin ke atas akan didominasi oleh bruguiera, dan dibagian bawah
akan mulai ditemukan jeruju dan paku laut. Pohon nipah akan ditemukan pada daerah
mangrove di tepian sungai yang lebih ke hulu.
2. Adaptasi
Kondisi lingkungan yang kadang ekstrim, misalnya karena genangan air laut,
kekeringan, perubahan salinitas, dan substrat berlumpur yang cenderung anaerob,
menyebabkan flora mangrove harus memiliki kemampuan adaptasi, baik secara
morfologis maupun fisiologis.
Rhizopphora spp memiliki akar tunggang (prop root), untuk menunjang
tegaknya pohon agar tetap bertahan dari hempasan ombak, tetapi juga memiliki tunas
vegetatif yang merupakan salah satu ciri dari tumbuhan yang beradaptasi terhadap
kekeringan. Sebagai bentuk adaptasi terhadap kondisi yang miskin oksigen, tumbuhan
mangrove memiliki system perakaran yang disebut dengan akar nafas (pneumatophore)
yang muncul ke permukaan tanah. Pada Avicennia spp akar napas berbentuk seperti
pensil yang muncul ke permukaan tanah dan pada Sonneratia spp, berbentuk tumpul.
Pada Bruguiera spp akar napas berbentuk seperti lutut (knee root).
Bentuk adaptasi juga ditunjukkan oleh tumbuhan mangrove pada perkembangbiakannya.
Tumbuhan mangrove (Bruguiera spp dan Rhizopphora spp) berkembang
34
biak secara vivipar (viviparity). Biji berkecambah ketika masih berada di pohon, dan
jatuh menancap pada substrat berlumpur atau mangapung terbawa arus pasang-surut
dan baru terhenti ketika memasuki perairan yang dangkal dan ujung akarnya dapat
mencapai dasar. Tumbuhan mangrove juga memiliki daun yang relatif tebal dan
memiliki jaringan internal untuk menyimpan air dan kadar garam tinggi serta
diperlengkapi dengan kelenjar garam yang membantu menjaga keseimbangan osmotik.
B. Fauna Mangrove
Ekosistem mangrove dihuni oleh dua komunitas fauna, yaitu fauna terrestrial dan
fauna aquatic (laut). Fauna terrestrial memiliki adaptasi khusus untuk hidup di ekosistem
mangrove. Mereka mencari makan berupa organisme laut (terutama pada saat surut), tetapi
mereka hidup pada zona yang berada diluar jangkauan pasang air laut (pada bagian pohon
yang tinggi).
Fauna mangrove berbeda dengan fauna pantai berlumpur. Pada ekosistem mangrove,
selain terdapat substrat yang keras, juga terdapat akar mangrove yang dapat digunakan untuk
melekat bagi organisme. Fauna yang dominan pada ekosistem mangrove adalah moluska
(gastropoda dan bivalvia), crustacea (udang dan kepiting) dan beberapa jenis ikan.
Gastropoda diwakili oleh Littorinidae yang umumnya hidup pada akar dan batang serta daun
mangrove. Bivalvia yang banyak ditemukan antara lain: kerang hijau, tiram, kerang darah dan
lain-lain. Crustacea yang banyak ditemukan antara lain: udang pineid, kepiting bakau, Uca,
kepiting hantu (Dotila, Cleistostoma), dan lain-lain.
Ikan yang khas ditemukan pada ekosistem mangrove adalah dari genus
Perioptalmus, yang umum dikenal sebagai ikan glodok (mud skipper). Ikan ini memiliki
adaptasi yang khas untuk hidup di daerah mangrove yaitu berupa adaptasi mata dan alat
respirasi. Mata terletak tinggi pada kepala dan tersusun sedemikian rupa sehingga membentuk
fokus yang baik di udara dari pada di air. Sistem respirasi (pernapasan) juga mengalami
adaptasi, yaitu dengan berkurangnya jumlah insang dan pernapasan disempurnakan dengan
adanya kantung udara yang bervaskularisasi di dalam rongga mulut dan ruang-ruang insang.
Ikan glodok juga lebih banyak bergerak dengan berjalan menggunakan sirip dadanya yang
kuat atau dengan melompat dan memanjat akar mangrove, dari pada berenang seperti pada
ikan umumnya.
35
C. Manfaat Mangrove
1. Manfaat ekonomi
Hutan mangrove secara ekonomi memiliki arti yang sangat penting bagi
masyarakat sekitar. Daerah mangrove merupakan daerah tangkapan berbagai jenis ikan,
kepiting, udang dan kerang-kerangan. Tumbuhan mangrove juga dapat dimanfaatkan
sebagai bahan pembuat arang yang sangat baik, sebagai kayu bakar, bahan bangunan,
tiang pancang, obat-obatan, penyamak, pewarna dan bahan pembuat kertas. Daerah
mangrove juga sering dialih fungsikan untuk tambak, lahan pertanian maupun
pemukiman. Akibat yang terjadi kemudian adalah terjadinya eksploitasi yang
berlebihan sehingga merusak fungsi ekologis ekosistem tersebut
2. Manfaat ekologis
Kehidupan berbagai jenis hewan, baik secara langsung maupun tidak langsung
miliki ketergantungan terhadap keberadaan hutan mangrove. Ada yang tinggal menetap,
ada pula yang bersifat sementara. Di pantai timur Sumatra, sampai dengan tahun 1995
ketika hutan mangrove belum dimanfaatkan sebagai areal pertambakan (TIR),
merupakan tempat menetap dan singgah berbagai burung camar laut, juga tempat
menetap dan bersarang berbagai jenis burung elang, kera, berang-berang, luwak,
garangan, berbagai jenis reptilian, menjangan dan lain-lain
Dilihat dari ekosistem perairan, hutan mangrove memiliki arti yang sangat
penting terhadap produktivitas biota laut. Perairan di daerah hutan mangrove berfungsi
sebagai tempat tinggal, memijah, dan mengasuh (nursery ground) berbagai jenis biota
laut seperti: berbagai jenis udang, kepiting, kerang, dan ikan. Hutan mangrove juga
merupakan penyumbang yang sangat besar bagi kesuburan perairan laut. Jatuhnya
daun-daun dari tumbuhan mangrove dapat mencapai 7 – 8 ton/th/ha dan menjadi
sumber bahan organik penting dalam rantai makanan.
36
Fungsi lain dari hutan mangrove adalah melindungi garis pantai dari erosi.
Akar mangrove yang kokoh dapat meredam pengaruh gelombang dan juga dapat
menahan lumpur sehingga dapat mengurangi abrasi pantai. Mengingat pentingnya
berbagai fungsi hutan mangrove, maka pemanfaatan wilayah ini untuk peruntukan
apapun sebaiknya dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan mengacu pada azas
kelestarian, sehingga dalam jangka panjang tidak menimbulkan kerugian yang lebih
besar.
EKOSISTEM TERESTRIAL DAERAH TROPIS
Beberapa hal perlu diperhatikan dalam mempelajari ekosistem terrestrial antara
lain: Kisaran geografi, Daya kelangsungan hidup, Toleransi dan Bioma
A. Hutan Hujan Tropis
Merupakan tipe hutan yang yang tumbuh di daerah tropis yang memiliki curah hujan
sekitar 2.000 – 4.000 mm per tahun, suhu berkisar antara 25° - 28°C dengan kelembaban
rata-rata 80%
Ciri-ciri:
Kaya species seperti pohon berkayu yang selalu hiajau, jenis paku-pakuan, tumbuhan
merambat, epifit, dan terdapat banyak species hewan baik invertebrata maupun
vertebrata. Tinggi pohon tidak sama (berlapis) sehingga terdapat stratifikasi yang terdiri
dari:
1. Lapisan teratas (A), pohon dengan tinggi antara 30 – 45 m
2. Lapisan tingkat B, pohon dengan tinggi antara 18 – 27 m
3. Lapisan tingkat C, pohon dengan tinggi antara 8 – 14 m
4. Lapisan tingkat D, berupa semak dengan ketinggian < 8 m
5. Lapisan tingkat E, terdiri dari semak dan kecambah (0 – 1 m)
Hutan hujan tropis berdasarkan ketinggiannya dapat dibagi menjadi:
1. Hutan dataran rendah
Terdapat pada dataran rendah dan bukit-bukit dengan ketinggian 600 m di atas
permukaan laut. Merupakan tipe vegetasi terkaya di daerah tropis (H' tinggi dan
kompleks), memiliki tajuk tinggi dan terdapat banyak strata di dalamnya.
37
2. Hutan pegunungan bagian bawah (submontane forest)
Ekosistem hutan yang terdapat pada ketinggian 600 -1400 m di atas permukaan
laut. Fisiognomi (penampakannya) seperti hutan dataran rendah tetapi pohon tumbuh
lebih kecil dan formasinya agak berbeda, ditemukan banyak tumbuhan dari jenis
Orchidaceae atau Pteridophyta.
3. Hutan pegunungan bagian atas (Montane forest)
Terdapat pada ketinggian 1400 – 3000 m. Fisiognomi tergantung pada
ketinggian dan topografinya. Komposisi botanik hutan ini menyerupai hutan di daerah
iklim sedang. Vegetasi berupa semak-semak rendah atau pohon kecil, kerdil, jenis conifer
atau jenis vegetasi berbunga
4. Hutan subalpin dan alpin
Jenis hutan pegunungan yang biasanya lebih kerdil dan banyak dijumpai jenis
endemic. Hal ini mungkin disebabkan oleh penyinaran UV yang kuat shg terjadi mutasi
dan spesifikasi yang dipercepat
KEANEKARAGAMAN HAYATI (BIODIVERSITAS)
Keanekaragaman Hayati (biodiversitas) di suatu area merupakan pencerminan kisaran habitat
dan keanekaragaman komponen-komponennya. Daerah yang heterogen diharapkan
mempunyai diversitas lebih besar disbanding yang homogen.
1. Biodiversitas Genetik
Variasi pewarisan atau variasi bahan-bahan yang diwariskan di dalam dan diantara
individu dalam populasi
Faktor-faktor yang mempengaruhi:
a. Kombinasi urutan basa dalam DNA
b.Meiosis dan mutasi gen maupun kromosom
c.Variasi alel
d.Lingkungan
Bagaimana hubungan variasi genetik dengan lingkungan dan apa saja peran variasi
genetik bagi organisme ?
Variasi genetik pada sebagian besar species merupakan materi dasar untuk
menanggapi dengan cepat adanya perubahan lingkungan
2. Biodiversitas species
Kehati, saat ini menggunakan konsep species dan aspek yang mendasar adalah adanya
variasi
38
PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN HAYATI
1. Kekayaan Jenis (idealnya melalui sensus)
2. Kemelimpahan jenis (dinyatakan dengan indeks diversitas)
Bila jenisnya makin seragam jumlahnya, maka diversitasnya semakin tinggi
3. Diversitas taksik
Menilai kemelimpahan jenis pada bermacam-macam kategori (beda species, kelamin,
tingkat tropik, dll)
Membandingkan Kehati
1. Diversitas ß: Perbedaan antar habitat
2. Diversitas α: Perbedaan dalam habitat
3. Diversitas γ: Perbedaan antar habitat dalam wilayah luas (antar benua)
Distribusi Kehati
Ada kecenderungan distribusi berdasar:
Gradien latitude, latitude, presipitasi, nutrient, salinitas, kepulauan (penting dalam
konservasi)
39
Estuarin atau estuaria adalah daerah semi tertutup yang mempunyai hubungan bebas
dengan lautan dan di dalamnya terjadi percampuran antara air laut dan air tawar yang berasal
baik dari air hujan maupun air tawar yang berasal dari aliran sungai. Percampuran ini terjadi
paling tidak setengah waktu dari setahun. Batasan ini mungkin sudah dapat mencakup suatu
kenyataan bahwa beberapa bentuk geomorfologi garis pantai misalnya gobah, rawa, fjord dan
bentuk teluk dangkal lainnya sering dianggap estuarin.
Berdasarkan geomorfologinya, sejarah geologi dan keadaan iklim, estuaria dibagi
menjadi empat.
1. Estuaria dataran pesisir (coastal plain estuary)
Estuaria ini terbentuk pada akhir jaman es penghabisan ketika permukaan laut
menggenangi lembah sungai yang rendah letaknya
2. Estuaria tektonik
Terjadi karena turunnya permukaan daratan sehingga daerah tertentu di daerah dekat
pantai digenangi air laut
3. Estuaria semi tertutup (gobah)
Terbentuk karena adanya gumuk pasir yang sejajar dengan garis pantai dan sebagian
memisahkan perairan yang terdapat dibelakangnya dari air laut. Keadaan ini menciptakan
suatu gobah yang dangkal dibelakang gumuk pasir yang menampung debit air tawar dari
daratan. Air di dalam gobah bervariasi salinitasnya tergantung pada keadaan iklim, ada
tidaknya aliran sungai ke dalam gobah dan sampai dimana gumuk pasir membatasi jalan
masuk air laut. Tipe ini banyak ditemukan di pantai berpasir di selatan pulau jawa.
4. Fjord
Tipe ini sebenarnya adalah lembah yang telah diperdalam oleh kegiatan glesier dan
kemudian digenangi air laut. Memiliki cirri khas berupa suatu ambang yang dangkal pada
mulut muaranya.
40
Klasifikasi estuaria juga dapat didasarkan pada bagaimana salinitas dibentuk.
Berdasarkan criteria ini estuaria dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Estuaria positif (baji garam)
Estuaria tipe ini memiliki ciri khas gradien salinitas dipermukaan perairan cenderung
lebih rendah dibanding dengan salinitas pada bagian yang lebih dalam atau di dasar
perairan. Rendahnya salinitas di permukaan perairan disebabkan karena air tawar yang
memiliki berat jenis lebih ringan dibanding air laut akan bergerak di atas air laut dan
percampuran baru terjadi setelah beberapa saat kemudian. Kondisi ini juga disebabkan
oleh karena kecilnya proses penguapan akibat rendahnya intensitas penyinaran matahari,
sehingga penguapan juga relative rendah. Estuaria positif biasanya terdapat di daerah subtropis
dimana penguapan relatif kecil dan volume air tawar yang masuk muara cukup
besar. Estuaria tipe ini juga dapat ditemukan pada daerah tropis terutam terjadi pada saat
musim penghujan dimana intensitas cahaya matahari rendah dan volume air tawar cukup
besar.
2. Estuaria negatif
Estuaria tipe ini biasanya ditemukan di daearah dengan sumber atau masukan air tawar
yang sangat minim atau rendah dan penguapan sangat tinggi yaitu di daerah iklim gurun
pasir. Air laut masuk daerah muara sungai lewat permukaan , mengalami sedikit
pengenceran karena bercampur dengan air tawar yang terbatas jumlahnya. Tingginya
intensitas cahaya matahari menyebabkan penguapan sangat cepat menyebabkan air
permukaan hipersalin.
3. Estuaria percampuran sempurna
Percampuran sempurna menghasilkan salinitas yang sama secara vertical dari permukaan
sampai ke dasar perairan pada setiap titik. Estuaria seperti ini kondisinya sangat
tergantung dari beberapa faktor antara lain: volume percampuran masa air, rezim pasang
surut, musim, tipe mulut muara dan berbagai kondisi khusus lainnya. Estuaria
percampuran sempurna kadang terjadi atau ditemukan di daerah tropis khususnya ketika
volume dan kecepatan penggelontoran air tawar yang masuk ke daerah muara saimbang
dengan pasang air laut serta ditunjang dengan mulut muara yang lebar dan dalam. Kondisi
ini biasanya hanya insidental dan waktunya relatif pendek.
Estuaria sebagai ekosistem kompleks, memiliki variasi yang sangat besar dalam
banyak parameter fisik dan kimia sehingga lingkungannya menjadi sangat menekan bagi
41
kehidupan organisme. Beberapa faktor fisik dan kimia lingkungan yang dapat menjadi faktor
pembatas dalam ekosistem estuaria antara lain:
1. Salinitas
Salinitas daerah estuaria sangat fluktuatif dan tergantung pada musim, topografi
estuaria, aksi pasang air laut, dan volume air tawar. Dua musim dalam setahun di daerah
tropis seperti di Indonesia dan tipe pasang semi diurnal pada sebagian besar wilayahnya
(dua kali pasang dan dua kali surut) dalam waktu sehari semalam menyebabkan terjadinya
fluktuasi salinitas yang periodisitasnya sangat pendek (sekitar 6 jam).
Aksi pasang air laut yang besar mendorong air laut masuk cukup jauh ke hulu
sungai dan sebaliknya pasang turun akan mendorong kembali isohaline ke hilir. Kondisi
ini menyebabkan pada daerah yang sama di estuarin memiliki salinitas yang berbeda pada
waktu yang berbeda sesuai dengan perubahan aksi pasang dan volume air tawar.
Faktor ke dua yang mempengaruhi salinitas di daerah estuarin adalah kekuatan
coriolis, yaitu terjadinya pembelokan arah gerak melingkar akibat rotasi bumi
mengelilingi sumbunya. Berputarnya bumi pada porosnya mengakibatkan perubahan arah
gerakan air laut yang masuk ke daratan (muara sungai), membelokannya kearah kanan
dibelahan bumi sebelah utara dan kearah kiri pada belahan bumi bagian selatan. Sebagai
contoh di daerah estuaria di sekitar pulau jawa bagian selatan, kekuatan coriolis akan
membelokkan air laut yang masuk ke estuaria kea rah kiri apabila kita melihat estuaria
kearah laut. Akibatnya, pada dua titik yang berlawanan dan teletak pada jarak yang sama
dari laut akan memiliki salinitas yang berbeda. Faktor ke tiga yang menyebabkan
fluktuasi salinitas di estuarin adalah musim. Di Indonesia dengan dua musim yang
berbeda dalam setahun akan menyebabkan perbedaan salinitas sebagai akibat berubahnya
volume air tawar dan berubahnya intensitas cahaya matahari.
Fluktuasi salinitas selain terjadi di kolam airnya juga terjadi pada substrat
dasarnya. Substrat estuarin yang berupa pasir atau lumpur akan menahan air diantara
partikel-partikelnya. Air interstitial ini berasal dari air yang semula terdapat di atas
substrat. Perubahan salinitas air interstitial jauh lebih lambat dibanding dengan air di
atasnya, karena itu air interstitial serta Lumpur dan pasir di sekitarnya bersifat buffer
terhadap air yang di atasnya.
Berdasarkan beberapa pengaruh faktor fisik dan kimia lingkungan terhadap
terbentuknya rezim salinitas baik secara vertikal maupun horisontal di daerah estuarin
dapat disimpulkan bahwa: Pada ekosistem estuarin, berdasarkan salinitasnya terbentuk
tiga zona yaitu zona air tawar, air payau dan air laut. Antara zona-zona ini terdapat garis
42
pemisah yang hanya dapat dilewati oleh organisme yang memiliki kemampuan adaptasi
fisiologi tertentu.
2. Suhu
Suhu air estuaria memiliki fluktuasi harian lebih besar dibanding dengan
perairan lainnya. Hal ini disebabkan karena luas permukaan estuaria relatif lebih besar
jika dibandingkan dengan volume airnya. Air estuaria cenderung lebih cepat panas dan
lebih cepat dingin tergantung kondisi atmosfir yang melingkupinya. Alasan lain
bervariasinya suhu pada ekosistem estuarin adalah karena masuknya air tawar yang
suhunya lebih depengaruhi oleh perubahan suhu musiman. Selain itu suhu di estuaria juga
bervariasi secara vertikal karena pengaruh fluktuasi suhu harian. Perairan permukaan
cenderung mempunyai kisaran suhu terbesar dibanding dengan perairan yang lebih dalam
3. Ombak dan Arus
Terjadinya ombak tergantung pada luas permukaan perairan dan juga angina.
Estuaria memiliki luas perairan terbuka yang sempit karena dibatasi oleh daratan pada
ketiga sisinya, dengan demikian angina yang bertiup untuk menciptakan ombak juga
minimal. Kedalaman dan sempitnya mulut estuaria juga menjadi penghalang terbentuknya
ombak yang besar atau menghilangkan pengaruh ombek laut yang masuk estuaria. Arus di
estuaria cenderung disebabkan oleh aksi pasang air laut dan aliran sungai. Kecepatan arus
tertinggi terjadi pada bagia tengah sungai/muara dimana hambatan gesek dengan dasar
dan tepian menjadi minimal. Arus di daerah estuaria sering mengakibatkan timbulnya
erosi dan biasanya diikuti oleh pengendapan di mulut muara. Adanya perbedaan
kecepatan arus yang berasal dari sungai dari musim ke musim menyebabkan perbedaan
kecepatan erosi dan pengendapan, sehingga banyak kasus terutama di beberapa tempat di
Indonesia muara sungai bergeser dari tempat semula.
4. Substrat dasar
Kebanyakan estuaria didominasi oleh substrat berlumpur yang berasal dari
proses pengendapan material baik yang dibawa oleh air laut maupun oleh air tawar dari
aliran sungai. Air laut dan air sungai membawa banyak partikel pasir maupun lumpur
yang tersuspensi dan keduanya bertemu di estuaria. Berbagai ion yang berasal dari laut
akan mengikat partikel Lumpur yang terbawa air sungai sehingga menggumpal dan
mengendap sebagai dasar substrat yang khas. Kondisi terlindung estuaria juga
menyebabkan berkurangnya kecepatan air, dengan demikian partikel mengendap dan
membentuk substrat dasar estuaria baik lumpur atau pasir
43
Pengendapan partikel juga tergantung pada arus dan ukuran partikel yang
tersuspensi. Partikel yang lebih besar mengendap lebih cepat, dan arus yang kuat
mempertahankan partikel tersespensi (halus), dengan demikian substrat pada daerah
dengan arus yang kuat akan didominasi oleh substrat berpasir atau kerikil dan pada daerah
dengan arus yang lemah substrat dasar didominasi oleh Lumpur halus. Air laut akan
melepas materi lebih besar (pasir) pada mulut estuaria, sedangkan air sungai melepas
material kasar pada bagian hulu estuaria atau bahkan pada sungai itu sendiri, dengan
demikian daerah tempat percampuran antara air laut dan air tawar akan didominasi oleh
endapan halus (Lumpur). Di antara endapan lumpur adalah materi organik sehingga
estuaria menjadi tempat yang kaya cadangan bahan makanan bagi organisme.
5. Kekeruhan (turbiditas)
Besarnya jumlah partikel tersuspensi menyebabkan pada waktu-waktu tertentu
terutama pada saat musim penghujan dimana volume air tawar meningkat dan membawa
material akibat erosi menyebabkan kekeruhan meningkat, demikian juga aktivitas pasang
air laut. Kekeruhan biasanya minimum pada mulut muara dan semakin meningkat kea rah
hulu sungai. Pengaruh ekologis kekeruhan adalah menurunnya daya penetrasi cahaya
matahari ke dalam perairan yang selanjutnya menurunkan produktivitas primer akibat
penurunan fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan bentik.
6. DO (Oksigen terlarut)
Kandungan oksigen terlarut daerah estuaria sangat tergantung beberapa faktor
antara lain: suhu, salinitas, pengadukan, dan aktivitas organisme. Melihat kondisi fisik
daerah estuarin, maka secara umum wilayah ini memiliki kandungan oksigen terlarut
relative tinggi dibanding perairan lain.
Pada musim kemarau yang panjang dimana penggelontoran air tawar menurun
dan suhu serta salinitas relatif tinggi di permukaan perairan, menyebabkan proses
pengadukan dan distribusi oksigen dari permukaan ke dasar perairan sedikit terhambat
sehingga kandungan oksigen di dasar perairan menurun. Selain itu menurunnya
kandungan oksigen di dasar perairan juga dapat disebabkan karena tingginya bahan
organik yang terdeposit dan tingginya populsi dan individu bakteri di dalam sediment
menyebabkan meningkatnya pemakaian oksigen. Ukuran partikel dalam sediment yang
halus juga membatasi pertukaran air interstitial dan air yang diatasnya (kaya oksigen)
sehingga oksigen sangat cepat berkurang, bahkan pada beberapa sentimeter dalam
sedimen dapat bersifat anoksik.
44
BIOTA ESTUARIA
1. Fauna
Ada tiga komponen fauna utam penghuni estuaria yaitu fauna laut, tawar dan
fauna khas estuaria itu sendiri. Dari ketiganya, fauna laut merupakan yang terbesar dalam
jumlah species dan individunya, karena sebagian besar fauna laut bersifat eurihalin
sehingga mampu menembus dan masuk estuaria sampai batas salinitas rendah. Bahkan
beberapa species tertentu seperti Anguila sp dapat menembus sampai salinitas 3‰.
Fauna khas air payau atau estuaria terdiri dari species yang terdapat pada kisaran
salinitas antara 5‰ - 30‰, tetapi tidak ditemukan di air tawar maupun yang sepenuhnya
air laut, contohnya antara lain adalah tiram (Crassostrea ostrea), siput kecil (Hydrobia),
berbagai tiram dan udang.
Ada beberapa kecenderungan beberapa genera estuarin penyebarannya kea rah
laut, bukan masalah toleransi fisiologis tetapi cenderung kea rah interaksi biologis
(pemangsaan). Komponen fauna terakhir adalah fauna air tawar. Fauna air tawar
umumnya bersifat stenohalin sehingga tidak mampu menghuni estuaria dengan salinitas di
atas 5‰. Disamping fauna di atas, juga terdapat fauna yang hanya menghabiskan
sebagian daur hidupnya di estuaria. Contohnya stadia juvenil beberapa jenis udang
Penaidae. Fauna estuaria termasuk juga yang hanya masuk daerah ini sekedar untuk
mencari makan termasuk beberapa jenis ikan dan burung.
2. Flora
Hampir semua bagian estuaria terus menerus terendam dan terdiri dari substrat
Lumpur halus sehingga tidak cocok melekatnya makroalga. Kekeruhan yang sangat tinggi
juga menyebabkan terbatasnya daya tembus cahaya matahari ke lapisan yang dangkal
sekalipun, sehingga lapisan dasar estuaria miskin tumbuhan hidup. Hanya ada beberapa
jenis algae yang sering ditemukan di sebstrat dasar estuaria antara lain: Ulva,
Enteromorpha, Chaetomorpha dan Cladophora, namun algae ini juga bersifat musiman.
Kekruhan yang tinggi menyebabkan flora dominan yang tumbuh sebagian besar dari
kelompok tumbuhan berbungan berumur panjang yang menancapkan akar-akarnya ke
dalam substrat dan membentuk komunitas khas yang dikenal sebagai Hutan Mangrove.
ADAPTASI ORGANISME ESTUARIA
Variasi sifat habitat terutama salinitas membuat estuaria menjadi habitat yang keras
dan sangat menekan bagi kehidupan organisme. Organisme untuk dapat hidup dan berhasil
45
membentuk koloni di daerah ini organisme harus mempunyai kemampuan untuk beradaptasi
secara khusus.
1. Adaptasi Morfologis
Organisme yang mendiami substrat berlumpur sering kali beradaptasi dengan
membentuk rumbai-rumbai halus atau rambut atau setae yang menjaga jalan masuk ke
ruang pernapasan agar permukaan ruang pernapasan tidak tersumbat oleh partikel
Lumpur. Organisme yang memiliki kemampuan adaptasi seperti ini adalah kepiting
estuaria, dan beberapa anggauta dari Gastropoda.
Adaptasi yang lain adalah ukuran tubuh. Organisme estuaria umumnya mempunyai
ukuran tubuh lebih kecil dibandingkan dengan kerabatnya yang hidup di laut. Contohnya
adalah kepiting (Ucha) yang memiliki ukuran kecil, hal ini terjadi karena sebagian besar
energi yang dimilikinya dipergunakan untuk beradaptasi menyesuaikan dengan kadar
garam lingkungan.
2. Adaptasi Fisiologis
Adaptasi yang diperlukan untuk kelangsungan hidup organisme estuaria adalah
berhubungan dengan keseimbangan ion cairan tubuh menghadapi fluktuasi salinitas
eksternal. Kemampuan osmoregulasi sangat diperlukan untuk dapat bertahan hidup.
Organisme yang memiliki kemampuan osmoregulasi dengan baik disebut osmoregulator
contohnya Copepoda, Cacing Polychaeta dan Mollusca. Organisme yang memiliki
kemampuan osmoregulasi rendah disebut osmokonformer.
Kemampuan mengatur osmosis menurut beberapa ahli sangat dipengaruhi oleh
suhu. Di daerah tropic dengan suhu air lebih tinggi dan perbedaan suhu antara air tawar
dan air laut kecil, biasanya dihuni oleh species estuaria lebih banyak, dan species lautan
yang stenohalin dapat masuk lebih jauh ke hulu.
3. Adaptasi Tingkahlaku
Salah satu bentuk adaptasi tingkahlaku yang dilakukan oleh organisme estuaria
adalah membuat lubang ke dalam Lumpur. Ada dua keuntungan yang didapatkan dari
organisme yang beradaptasi seperti ini. Pertama, adalah dalam pengaturan osmosis.
Keberadaan di dalam lubang berarti mempunyai kesempatan untuk berhubungan dengan
air interstitial yang mempunyai variasi salinitas dan suhu lebih kecil dari pada air di
atasnya. Kedua, membenamkan diri ke dalam substrat berarti lebih kecil kemungkinan
organisme ini dimakan oleh pemangsa yang hidup di permukaan substrat atau di kolam
air.
46
Adaptasi tingkahlaku lainnya adalah dengan cara bergerak ke hulu atau ke hilir.
Tingkahlaku ini akan menjaga organisme tetap berada pada daerah dengan kisaran
toleransinya. Contohnya beberapa species kepiting seperti Rajungan (Calinectes sapidus),
ikan belanak (Mugil mugil), Ikan baung, Ikan banding dan lain-lain